Jangan Lupa, Pemilu Legislatif, 9 April 2009, pilih sesuai HATI NURANI

Senin, Januari 19, 2009

Pembaharu Demokrasi yang Mengakar (1)

Demokrasi disini harus kita artikan secara substantif dan mencakup tidak hanya mekanisme formal demokrasi (pemilihan umum yang bebas dan terbuka, multi-partai, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, peran pers dan organisasi kemasyarakatan dan sebagainya), tetapi juga nilai-nilai dasar yang memberi sukma pada demokrasi.


Pembedaan antara demokrasi dalam arti mekanisme formalnya dan demokrasi dalam arti substantif, teramat penting karena tidak jarang kita merasa bahwa hampir semua persyaratan formal demokrasi telah kita penuhi, tetapi kita kecewa karena dalam kehidupan nyata kita belum merasakan suasana demokrasi seperti yang dijanjikan konseptornya atau seperti yang dinikmati oleh masyarakat di negara demokrasi yang telah mapan. Itu adalah kasus demokrasi tanpa sukma.


Tanpa adanya kelas pembaharu yang handal proses demokratisasi akan menghasilkan demokrasi tanpa sukma, atau berhenti di tengah jalan, atau berjalan tanpa arah atau, lebih buruk, melahirkan antitesis dari demokrasi. Kemungkinan-kemungkinan ini pernah terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa.


Pengalaman Sejarah

Haiti adalah sebuah republik yang secara formal demokratis selama lebih dari 200 tahun setelah mendapatkan kemerdekaan dari Perancis pada tahun 1804. Sekarang Haiti tetap negara miskin dengan penghasilan per kapita USD 450 dan hampir selalu dirundung kekacauan setiap pergantian pemerintahan (yang dalam kenyataan memerintah dengan cara yang jauh dari kaidah-kaidah demokrasi). Masalah utamanya, menurut hemat saya, adalah karena tidak pernah ada kelompok masyarakat yang mampu berperan sebagai pengawal demokrasi beserta nilai-nilai dasarnya.


Kontraskan Haiti dengan India. Pada saat kemerdekaannya India adalah juga negara yang miskin (penghasilan per kapita sekitar USD 50) dengan berbagai keterbelakangan sosial dan struktur masyarakat yang feodal. India beruntung karena sewaktu di bawah jajahan Inggris cukup banyak kaum elite-nya berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern dan menduduki posisi-posisi di birokrasi pemerintah kolonial.


Sebagian juga berhasil menjadi pelaku-pelaku tangguh di bidang industri dan perdagangan. Pada saat kemerdekaannya kelompok elite ini memutuskan untuk mengadopsi demokrasi dan berkomitmen untuk mengawalnya. Apabila ada satu orang yang merupakan pengejawantahan komitmen itu, ia adalah Nehru.


Nehru adalah seorang demokrat sejati. Menghadapi realitas sosial yang jauh dari ideal untuk demokrasi, dan pada waktu para pengamat pada tahun 1950an dan 1960an ramai-ramai meng-kontraskan prestasi ekonomi India yang medioker dengan pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat Cina yang spektakuler, Nehru dan para elite India tetap tegar pada komitmennya pada demokrasi. Hasilnya, di India demokrasi, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, merupakan realita hidup selama 60 tahun, di Cina masih berupa cita-cita, sampai sekarang.


Sejarah juga mencatat bagaimana demokrasi ”dibajak” di tengah jalan karena kelompok pengawalnya tidak cukup kuat menghadapi pihak anti-demokrasi. Jerman pada masa Republik Weimar (1919-1933) adalah negara demokratis dan bukan negara miskin. Krisis ekonomi yang berkepanjangan (hiperinflasi dan kemudian depresi) dan ketidakberdayaan pemerintah untuk menanganinya menyebabkan Hitler dan partai Nazi-nya, yang menjanjikan pengakhiran kesengsaraan itu, meraih suara mayoritas dalam pemilihan umum. Krisis ekonomi telah sangat memperlemah kelas menengah, pembawa panji demokrasi. Melalui proses demokrasi Hitler mengambil kendali negara, dan dari sana ia membunuh demokrasi.


Bagaimana di Indonesia? Kelompok pembaharu di Indonesia barangkali masih jauh lebih kecil daripada di India. Tetapi ia berkembang cepat, terutama sejak masa reformasi dan khususnya di kalangan kaum muda. Kita juga punya satu plus dibanding India –kondisi stratifikasi dan mobilitas sosial di Indonesia jauh lebih baik.


Oleh karena itu kita semestinya tidak boleh terlalu pesimis mengenai prospek perkembangan demokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang relevan adalah bagaimana kelompok ini dapat lebih didorong untuk memperkuat proses modernisasi dan demokratisasi di negara kita.


(1) Pertumbuhan Ekonomi. Langkah yang paling efektif untuk memperkuat kelompok pembaharu, kembali lagi, adalah memacu pertumbuhan ekonomi yang tersebar (broad based), karena dari situlah awal terciptanya kelas menengah. Sebaliknya, kemunduran ekonomi dan krisis ekonomi harus dihindari karena dari situlah awal dari kepunahan kelas menengah. Selain pertumbuhan ekonomi itu harus tersebar, ia harus memenuhi satu syarat lain, yaitu bersumber dari kegiatan-kegiatan enterpreunerial dalam iklim kompetisi yang sehat. Hal ini penting karena akhirnya ia menentukan kelas menengah macam apa yang akan timbul.


Di sejumlah negara, dan sebagian dari pengalaman kita sendiri, mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berasal dari rezeki nomplok hasil penjualan kekayaan alam (seperti minyak) dapat menciptakan kelas menengah, tetapi lebih berupa kelompok konsumen kelas menengah.


Kelompok ini belum tentu kelas menengah yang mempunyai komitmen untuk mengawal demokrasi. Demikian pula pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada praktek-praktek kroni-isme, kolusi antara penguasa dan pengusaha serta praktek-praktek monopolistik lainnya. Ia mungkin dapat menghasilkan laju yang tinggi, tapi ia tidak akan sustainable karena tidak akan melahirkan kelas menengah yang mau memperjuangkan demokrasi, good governance dan kepastian hukum. Yang muncul bukanlah kelompok pembaharu tetapi kelompok pemburu rente, bukan sistem ekonomi pasar yang penuh vitalitas tetapi kapitalisme palsu atau ersatz capitalism, yang lebih kompatibel dengan oligarki daripada dengan demokrasi. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profil Singkat

Foto saya
Caleg No. 5 DPR RI, Dapil Lampung 2, Indonesia

Kategori