Dilema Demokrasi
Dilema mendasar yang dihadapi demokrasi, sejak Plato, adalah bagaimana memadukan rasionalisme dengan populisme, pemerintahan yang efektif dengan pemerintahan yang representatif, teknokrasi dengan demokrasi. Dilema ini sangat kongkrit, dan akut, bagi demokrasi yang baru berkembang, seperti di negara kita.
Di satu sisi, kita ingin memacu pembangunan ekonomi yang pada hakekatnya memerlukan langkah cepat dan kebijakan ekonomi yang rasional, konsisten dan berwawasan jangka panjang –short term pain for long term gain. Di sisi lain, sistem politik yang berjalan, karena mekanisme yang belum mantap, tidak mendukung pengambilan keputusan yang cepat dan decisive.
Risiko distorsi terhadap kebijakan yang rasional juga tinggi karena tidak jarang kepentingan sempit dan jangka pendek mendominasi wacana pengambilan keputusan di lembaga legislatif dan bahkan eksekutif, tanpa ada mekanisme koreksi yang efektif. Inilah sebabnya mengapa para ahli berpendapat bahwa kebijakan ekonomi, sampai batas tertentu, perlu di-insulasikan dari hiruk-pikuk politik sehari-hari. Independensi bank sentral, yang sekarang sudah umum diterima, adalah satu perwujudan dari pemecahan dilema ini.
Apakah pemecahan serupa dapat diterapkan di bidang lain seperti kebijakan fiskal, industri dan perdagangan atau lingkungan hidup, sekarang masih diperdebatkan para ahli. Yang penting, posisi strategis mengenai imbangan antara teknokrasi dan demokrasi harus diambil oleh setiap bangsa pada setiap tahap perjalanannya.
Di masa Orde Baru, dengan plus-minusnya, proses kebijakan ekonomi diproteksi dari proses politik sehari-hari, paling tidak selama dua dasawarsa pertama. Sekarang, format itu tidak cocok lagi. Format yang baru harus kita temukan dan posisi strategis yang pas harus kita ambil. Ia tidak bisa dibiarkan hanya sebagai hasil sampingan dari proses politik praktis. Taruhannya terlalu besar.
Kelompok Pembaharu
Sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan proses transformasi menuju masyarakat yang makmur, demokratis dan terbuka ditentukan oleh keberadaan kelompok pembaharu. Kelompok inilah yang menjadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi itu. Tanpa kelompok pembaharu, proses transformasi akan berisiko mandeg atau keluar dari jalur yang kita inginkan.
Pertumbuhan ekonomi membantu tumbuhnya kelompok pembaharu, tapi ia harus memenuhi 2 syarat, yaitu: (1) pertumbuhan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat (broad based) dan (2) prosesnya lebih mengandalkan pada kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif dan ingenuitas sumberdaya manusianya dan bukan semata dari hasil penjualan kekayaan alam, bantuan luar negeri atau pada rezeki nomplok lainnya.
Untuk mendukung berkembangnya kelompok pembaharu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup. Dua syarat tersebut harus juga dipenuhi. Siapakah kelompok pembaharu itu dan apa peran mereka dalam proses transformasi?
Sejarah mencatat bahwa kelompok ini bisa datang dari latar belakang sosial yang berbeda. Di Inggris pada tahap krusial transformasinya inti dari kelompok pembaharu adalah para pengusaha –kaum bourgeoisie– atau kaum borjuis. Istilah kaum borjuis mempunyai konotasi buruk di negeri ini karena dikaitkan dengan teori Marx yang memposisikannya sebagai kelas yang menguasai alat-alat produksi masyarakat dan menggunakannya untuk mengeksploitir buruh. Dalam konteks teori sosial non-Marxist kelompok ini diposisikan lebih netral.
Studi para ahli sejarah ekonomi umumnya melihat bahwa di Inggris kelompok ini telah berperan sebagai pembaharu sosial, pada awalnya dalam meruntuhkan struktur feodal yang ada dan selanjutnya menjadi ujung tombak dan pengawal proses modernisasi dan demokratisasi. Pola seperti itu kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa lainnya.
Di Amerika Serikat proses transformasi oleh kelompok ini berlangsung lebih cepat karena dari awal tidak ada struktur feodal yang harus diruntuhkan. Di negara-negara seperti Jerman dan Jepang kaum borjuis, paling tidak pada tahap awalnya, bukan penggerak utama transformasi. Mereka tidak sekuat dan se-independen rekan-rekannya di Inggris atau Amerika Serikat. Di Jerman, justru kaum birokrat (yang terdiri dari para exaristokrat) yang menjadi kelompok pembaharu. Jerman pada abad 19 mempunyai sistem birokrasi paling modern di dunia dan, melalui reformasi birokrasi, mereka menciptakan rule of law yang mantap dan sistem jaminan sosial modern.
Di Jepang cikal-bakal dari kelompok pembaharu adalah kaum samurai yang mentransformasikan diri menjadi motor penggerak modernisasi. Di Jerman dan terutama di Jepang proses modernisasi tidak serta merta melahirkan demokrasi. Di kedua Negara ini, demokrasi baru berakar setelah Perang Dunia II. Dan prosesnya pun tidak sepenuhnya berasal dari dinamika intern, tetapi sebagian karena tekanan dari negara-negara penakluknya, khususnya Amerika Serikat, yang menginginkan demokrasi diterapkan di negara-negara tersebut.
Bagi negara berkembang barangkali akan terlalu lama untuk menunggu terbentuknya kelompok pembaharu secara alamiah seperti di negara-negara tersebut. Negara berkembang seyogyanya tidak mengandalkan satu atau dua kelompok sosial saja sebagai kelompok pembaharunya. Yang terbaik adalah mendorong terbentuknya koalisi luas, yang terdiri dari para demokrat dari semua segmen sosial.
Kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM dan lain-lain. Mereka diikat oleh kesamaan platform, yaitu memperjuangkan nilai-nilai demokrasi seperti hak asasi manusia, keterbukaan, kebebasan berusaha, good governance, rule of law dan sebagainya. Di sementara negara berkembang, termasuk Indonesia, kelompok semacam ini sudah mulai terbentuk dan berperan, meskipun masih terbatas. Mereka adalah elemen strategis dalam proses modernisasi dan demokratisasi.
Jalur Yang Penuh Risiko
Proses sejarah tidak mengenal belas kasihan. Hanya bangsa yang mempunyai pandangan ke depan, keyakinan, keuletan dan kecerdasan yang dapat menyelesaikan perjalanannya. Yang lainnya tidak beranjak dari posisi awalnya, atau menjadi negara gagal (failed states) atau bahkan hilang dari peta sejarah. Hukum Darwin juga berlaku bagi seleksi antara bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar