Jangan Lupa, Pemilu Legislatif, 9 April 2009, pilih sesuai HATI NURANI

Kamis, Januari 29, 2009

Lagi, Hanura Urutan ke-2 Partai Terpopuler

Setelah akhir Desember lalu, seorang praktisi IT mengadakan survey seputar partai peserta Pemilu 2009, yang menyimpulkan posisi ke-2 Hanura sebagai Pemenang Pemilu tahun ini, maka awal tahun ini, berdasarkan survey yang berbeda dengan sebelumnya, Hanura kembali mendapat posisi ke-2 Partai Terpopuler.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Institute for Social and Political Economic Issues (ISPEI) menyurvei sejumlah wilayah di Sulsel, dalam 71 hari menjelang pemilihan legislatif. Upaya ini guna mengukur tingkat penerimaan pemilih terhadap partai politik (parpol). Direktur Eksekutif ISPEI Imam Mujahidin Fahmid mengatakan, survei yang akan dilakukan selama satu dua hari ini merupakan kedua kalinya setelah sebelumnya juga melakukan survei sama, Juni-Juli 2008. Hanura menempati posisi ke-2, sementara Golkar pada urutan pertama.

“Jadi, setiap tiga bulan ISPEI menyurvei mengukur tingkat penerimaan pemilih. Survei kali ini merupakan yang terakhir menjelang kampanye” ujarnya seusai mengambil sejumlah data partai di KPU Sulsel kemarin. Staf pengajar di Universitas Hasanuddin (Unhas) ini menambahkan, survei yang dilakukannya hanya fokus pada partai politik, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Sulsel, serta sebagian caleg.

“Hasilnya akan diumumkan kepada publik dalam 10 hari ke depan, sekaligus melihat peran partai selama tiga bulan terakhir ini memengaruhi warga,” papar mantan jubir pasangan Syahrul Yasin Limpo - Agus Arifin Nu’man (Sayang) di Pilkada Sulsel 2007 lalu. Sekadar diketahui, survei pertama, menempatkan Golkar di urutan pertama dengan persentase dukungan 35,5%.

Namun, perolehan partai berlambang pohon beringin ini menurun dibandingkan hasil perolehan suara pada Pemilu 2004, yakni 43,2% atau berhasil mendudukan 33 kadernya di DPRD Sulsel. Di posisi kedua, ditempati Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan dukungan responden 4,4%, disusul Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) yang samasama memperoleh 3,2%.

Sementara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menempati posisi keempat dengan dukungan 3,0% atau unggul tipis dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 2,4%. Sementara itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) untuk pertama kalinya menjelang Pemilu 2009,menyurvei tingkat penerimaan pemilih di Sulsel dengan menyebar sukarelawannya di 23 kabupaten kota, selama Januari.

Koordinator LSI Area Sulawesi Herman Heiser mengatakan, survei yang dilakukannya saat ini masih berjalan, termasuk di Kabupaten Bone, selama satu dua hari ke depan. Menurutnya, hasil survei LSI akan diumumkan kepada publik dalam 10 hari ke depan, setelah semua data sudah masuk dari koresponden di seluruh kabupaten/kota. Hasil survei tersebut akan dijadikan ukuran sekaligus bahan evaluasi guna memperbaiki kinerja partainya pada sisa akhir menjelang pemilu. (diadaptasi dari situs resmi DPP Hanura)

Sabtu, Januari 24, 2009

Pembaharu Demokrasi yang Mengakar (2 -Habis)

(2) Pengembangan UKM. Selain menciptakan iklim usaha dan iklim kompetisi yang sehat pemerintah dapat memacu terbentuknya kelompok pembaharu dengan mendorong perkembangan kelompok wirausaha yang tangguh melalui program-program khusus untuk menghilangkan kendala-kendala yang dihadapi oleh usaha kecil dan menengah untuk meng-akses pembiayaan, teknologi, layanan infrastruktur dan pasar. Pengusaha kecil dan menengah adalah embrio dari kelas menengah yang tangguh. Karenanya program pengembangan UKM merupakan elemen penting dalam upaya pengembangan demokrasi.


(3) Pribumi-Non Pribumi. Satu permasalahan khusus dan sensitive yang dihadapi Indonesia sejak kemerdekaan adalah hubungan pengusaha pribumi dan non-pribumi. Persoalan ini seyogyanya dibahas secara terbuka dan dicarikan pemecahannya bersama. Untuk kepentingan pembangunan Indonesia dalam jangka panjang, tidak ada solusi lain kecuali menyatukan kedua kekuatan itu untuk membangun bangsa.


Upaya itu harus menjadi bagian dari program besar integrasi bangsa, dengan mengikis secara bertahap tapi sistematis sekat sosio-ekonomikultural antara kedua kelompok ini. Masing-masing kelompok, atau lebih tepatnya kaum elite dari masing-masing kelompok, harus lebih membuka diri dan mengambil inisiatif untuk saling menjangkau dan dengan kejujuran mencari titik-titik temu, dengan seluas mungkin melibatkan generasi mudanya.


Negara patut mendorong dan memfasilitasi secara adil dan sungguh-sungguh proses ini. Thailand dan Filipina, dengan cara mereka masing-masing, sudah melangkah lebih maju daripada kita. Malaysia barangkali belum terlalu jauh dari kita. Kita harus melihat proses ini sebagai bagian integral dari perjalanan panjang bangsa.


(4) Pendidikan. Langkah penting lain untuk membentuk kelompok pembaharu yang handal adalah melalui pendidikan. Inilah yang terjadi di India. Ini pulalah yang terjadi di Indonesia di jaman Belanda, meskipun dengan jumlah yang jauh lebih kecil. Dengan segala keterbatasannya di masa penjajahan, pendidikan yang bermutu telah melahirkan kelompok elite yang tangguh. Di alam kemerdekaan, dengan segala kemudahan dan peluang yang terbuka, tidak ada alasan mengapa hasil serupa, atau yang lebih baik lagi, tidak terjadi. Sayangnya di negara kita hal itu belum terjadi. Mengapa? Kuncinya terletak pada materi pendidikan yang pas dan proses belajar-mengajar yang efektif.


Keduanya masih perlu terus kita upayakan. Ada dua catatan penting di sini. Pertama, penyediaan pendidikan bermutu bagi elite bangsa harus didasarkan pada sistem seleksi terbuka berdasarkan prestasi atau merit system dan bukan berdasarkan hak-hak dan kedudukan istimewa. Kedua, agar demokrasi mengakar, pendidikan elite itu harus tetap dibarengi dengan pelaksanaan program pendidikan dasar yang bermutu dan terbuka lebar bagi semua anak Indonesia. Di bidang pendidikan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan.


(5) Keterbukaan. Faktor pendukung penting lain bagi perkembangan kelas pembaharu adalah keterbukaan dengan dunia luar. Semakin terbuka dan semakin terintegrasi negara tersebut dengan komunitas dunia, semakin subur pertumbuhan kelas pembaharu di negara itu. Arus informasi, manusia, barang dan jasa serta investasi dari luar adalah katalis bagi perkembangan kelompok pembaharu.


Indonesia sekarang tergolong negara yang paling bebas dari segi arus informasi. Sepanjang yang bisa kita lihat tidak ada hambatan sistemik bagi wartawan, akademisi, pengusaha, profesional, LSM asing untuk masuk ke Indonesia. Ini semua dapat dipastikan akan sangat membantu tumbuhnya kelompok pembaharu di negeri ini. Risiko keamanan memang ada, dan akan selalu ada. Tetapi, demi tujuan yang lebih besar, masalah itu harus tetap dikelola secara proporsional.


Keikutsertaan Indonesia di banyak forum, baik regional maupun global, telah dan akan makin membuka pikiran kita terhadap praktek-praktek terbaik di dunia dan sangat berguna bagi upaya kita untuk membangun institusi-institusi pendukung modernisasi dan demokratisasi. Investasi dari luar negeri, terutama dari negara-negara yang menjunjung tinggi asas-asas good governance di negaranya, perlu kita buka lebar, bukan hanya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi kita, tetapi juga untuk meningkatkan mutu institusi-institusi bisnis dan pemerintahan kita.


Ingat tidak jarang dunia usaha kita belajar praktek-praktek terbaik dari interaksi dan kemitraan mereka dengan perusahaan-perusahaan asing. Ingat pula bahwa perbaikan kinerja birokrasi kadangkala dipicu dan dipacu oleh adanya keluhan atau protes dari perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di sini. Dalam hal keterbukaan, menurut hemat saya, kita sudah di jalur yang benar. Jangan kita putar kembali jarum jam.

Senin, Januari 19, 2009

Pembaharu Demokrasi yang Mengakar (1)

Demokrasi disini harus kita artikan secara substantif dan mencakup tidak hanya mekanisme formal demokrasi (pemilihan umum yang bebas dan terbuka, multi-partai, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, peran pers dan organisasi kemasyarakatan dan sebagainya), tetapi juga nilai-nilai dasar yang memberi sukma pada demokrasi.


Pembedaan antara demokrasi dalam arti mekanisme formalnya dan demokrasi dalam arti substantif, teramat penting karena tidak jarang kita merasa bahwa hampir semua persyaratan formal demokrasi telah kita penuhi, tetapi kita kecewa karena dalam kehidupan nyata kita belum merasakan suasana demokrasi seperti yang dijanjikan konseptornya atau seperti yang dinikmati oleh masyarakat di negara demokrasi yang telah mapan. Itu adalah kasus demokrasi tanpa sukma.


Tanpa adanya kelas pembaharu yang handal proses demokratisasi akan menghasilkan demokrasi tanpa sukma, atau berhenti di tengah jalan, atau berjalan tanpa arah atau, lebih buruk, melahirkan antitesis dari demokrasi. Kemungkinan-kemungkinan ini pernah terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa.


Pengalaman Sejarah

Haiti adalah sebuah republik yang secara formal demokratis selama lebih dari 200 tahun setelah mendapatkan kemerdekaan dari Perancis pada tahun 1804. Sekarang Haiti tetap negara miskin dengan penghasilan per kapita USD 450 dan hampir selalu dirundung kekacauan setiap pergantian pemerintahan (yang dalam kenyataan memerintah dengan cara yang jauh dari kaidah-kaidah demokrasi). Masalah utamanya, menurut hemat saya, adalah karena tidak pernah ada kelompok masyarakat yang mampu berperan sebagai pengawal demokrasi beserta nilai-nilai dasarnya.


Kontraskan Haiti dengan India. Pada saat kemerdekaannya India adalah juga negara yang miskin (penghasilan per kapita sekitar USD 50) dengan berbagai keterbelakangan sosial dan struktur masyarakat yang feodal. India beruntung karena sewaktu di bawah jajahan Inggris cukup banyak kaum elite-nya berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern dan menduduki posisi-posisi di birokrasi pemerintah kolonial.


Sebagian juga berhasil menjadi pelaku-pelaku tangguh di bidang industri dan perdagangan. Pada saat kemerdekaannya kelompok elite ini memutuskan untuk mengadopsi demokrasi dan berkomitmen untuk mengawalnya. Apabila ada satu orang yang merupakan pengejawantahan komitmen itu, ia adalah Nehru.


Nehru adalah seorang demokrat sejati. Menghadapi realitas sosial yang jauh dari ideal untuk demokrasi, dan pada waktu para pengamat pada tahun 1950an dan 1960an ramai-ramai meng-kontraskan prestasi ekonomi India yang medioker dengan pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat Cina yang spektakuler, Nehru dan para elite India tetap tegar pada komitmennya pada demokrasi. Hasilnya, di India demokrasi, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, merupakan realita hidup selama 60 tahun, di Cina masih berupa cita-cita, sampai sekarang.


Sejarah juga mencatat bagaimana demokrasi ”dibajak” di tengah jalan karena kelompok pengawalnya tidak cukup kuat menghadapi pihak anti-demokrasi. Jerman pada masa Republik Weimar (1919-1933) adalah negara demokratis dan bukan negara miskin. Krisis ekonomi yang berkepanjangan (hiperinflasi dan kemudian depresi) dan ketidakberdayaan pemerintah untuk menanganinya menyebabkan Hitler dan partai Nazi-nya, yang menjanjikan pengakhiran kesengsaraan itu, meraih suara mayoritas dalam pemilihan umum. Krisis ekonomi telah sangat memperlemah kelas menengah, pembawa panji demokrasi. Melalui proses demokrasi Hitler mengambil kendali negara, dan dari sana ia membunuh demokrasi.


Bagaimana di Indonesia? Kelompok pembaharu di Indonesia barangkali masih jauh lebih kecil daripada di India. Tetapi ia berkembang cepat, terutama sejak masa reformasi dan khususnya di kalangan kaum muda. Kita juga punya satu plus dibanding India –kondisi stratifikasi dan mobilitas sosial di Indonesia jauh lebih baik.


Oleh karena itu kita semestinya tidak boleh terlalu pesimis mengenai prospek perkembangan demokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang relevan adalah bagaimana kelompok ini dapat lebih didorong untuk memperkuat proses modernisasi dan demokratisasi di negara kita.


(1) Pertumbuhan Ekonomi. Langkah yang paling efektif untuk memperkuat kelompok pembaharu, kembali lagi, adalah memacu pertumbuhan ekonomi yang tersebar (broad based), karena dari situlah awal terciptanya kelas menengah. Sebaliknya, kemunduran ekonomi dan krisis ekonomi harus dihindari karena dari situlah awal dari kepunahan kelas menengah. Selain pertumbuhan ekonomi itu harus tersebar, ia harus memenuhi satu syarat lain, yaitu bersumber dari kegiatan-kegiatan enterpreunerial dalam iklim kompetisi yang sehat. Hal ini penting karena akhirnya ia menentukan kelas menengah macam apa yang akan timbul.


Di sejumlah negara, dan sebagian dari pengalaman kita sendiri, mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berasal dari rezeki nomplok hasil penjualan kekayaan alam (seperti minyak) dapat menciptakan kelas menengah, tetapi lebih berupa kelompok konsumen kelas menengah.


Kelompok ini belum tentu kelas menengah yang mempunyai komitmen untuk mengawal demokrasi. Demikian pula pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada praktek-praktek kroni-isme, kolusi antara penguasa dan pengusaha serta praktek-praktek monopolistik lainnya. Ia mungkin dapat menghasilkan laju yang tinggi, tapi ia tidak akan sustainable karena tidak akan melahirkan kelas menengah yang mau memperjuangkan demokrasi, good governance dan kepastian hukum. Yang muncul bukanlah kelompok pembaharu tetapi kelompok pemburu rente, bukan sistem ekonomi pasar yang penuh vitalitas tetapi kapitalisme palsu atau ersatz capitalism, yang lebih kompatibel dengan oligarki daripada dengan demokrasi. (bersambung)

Rabu, Januari 14, 2009

Demokrasi : The "Right" Track? (2 -Habis)

Dilema Demokrasi

Dilema mendasar yang dihadapi demokrasi, sejak Plato, adalah bagaimana memadukan rasionalisme dengan populisme, pemerintahan yang efektif dengan pemerintahan yang representatif, teknokrasi dengan demokrasi. Dilema ini sangat kongkrit, dan akut, bagi demokrasi yang baru berkembang, seperti di negara kita.


Di satu sisi, kita ingin memacu pembangunan ekonomi yang pada hakekatnya memerlukan langkah cepat dan kebijakan ekonomi yang rasional, konsisten dan berwawasan jangka panjang –short term pain for long term gain. Di sisi lain, sistem politik yang berjalan, karena mekanisme yang belum mantap, tidak mendukung pengambilan keputusan yang cepat dan decisive.


Risiko distorsi terhadap kebijakan yang rasional juga tinggi karena tidak jarang kepentingan sempit dan jangka pendek mendominasi wacana pengambilan keputusan di lembaga legislatif dan bahkan eksekutif, tanpa ada mekanisme koreksi yang efektif. Inilah sebabnya mengapa para ahli berpendapat bahwa kebijakan ekonomi, sampai batas tertentu, perlu di-insulasikan dari hiruk-pikuk politik sehari-hari. Independensi bank sentral, yang sekarang sudah umum diterima, adalah satu perwujudan dari pemecahan dilema ini.


Apakah pemecahan serupa dapat diterapkan di bidang lain seperti kebijakan fiskal, industri dan perdagangan atau lingkungan hidup, sekarang masih diperdebatkan para ahli. Yang penting, posisi strategis mengenai imbangan antara teknokrasi dan demokrasi harus diambil oleh setiap bangsa pada setiap tahap perjalanannya.


Di masa Orde Baru, dengan plus-minusnya, proses kebijakan ekonomi diproteksi dari proses politik sehari-hari, paling tidak selama dua dasawarsa pertama. Sekarang, format itu tidak cocok lagi. Format yang baru harus kita temukan dan posisi strategis yang pas harus kita ambil. Ia tidak bisa dibiarkan hanya sebagai hasil sampingan dari proses politik praktis. Taruhannya terlalu besar.


Kelompok Pembaharu

Sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan proses transformasi menuju masyarakat yang makmur, demokratis dan terbuka ditentukan oleh keberadaan kelompok pembaharu. Kelompok inilah yang menjadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi itu. Tanpa kelompok pembaharu, proses transformasi akan berisiko mandeg atau keluar dari jalur yang kita inginkan.


Pertumbuhan ekonomi membantu tumbuhnya kelompok pembaharu, tapi ia harus memenuhi 2 syarat, yaitu: (1) pertumbuhan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat (broad based) dan (2) prosesnya lebih mengandalkan pada kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif dan ingenuitas sumberdaya manusianya dan bukan semata dari hasil penjualan kekayaan alam, bantuan luar negeri atau pada rezeki nomplok lainnya.


Untuk mendukung berkembangnya kelompok pembaharu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup. Dua syarat tersebut harus juga dipenuhi. Siapakah kelompok pembaharu itu dan apa peran mereka dalam proses transformasi?


Sejarah mencatat bahwa kelompok ini bisa datang dari latar belakang sosial yang berbeda. Di Inggris pada tahap krusial transformasinya inti dari kelompok pembaharu adalah para pengusaha –kaum bourgeoisie– atau kaum borjuis. Istilah kaum borjuis mempunyai konotasi buruk di negeri ini karena dikaitkan dengan teori Marx yang memposisikannya sebagai kelas yang menguasai alat-alat produksi masyarakat dan menggunakannya untuk mengeksploitir buruh. Dalam konteks teori sosial non-Marxist kelompok ini diposisikan lebih netral.


Studi para ahli sejarah ekonomi umumnya melihat bahwa di Inggris kelompok ini telah berperan sebagai pembaharu sosial, pada awalnya dalam meruntuhkan struktur feodal yang ada dan selanjutnya menjadi ujung tombak dan pengawal proses modernisasi dan demokratisasi. Pola seperti itu kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa lainnya.


Di Amerika Serikat proses transformasi oleh kelompok ini berlangsung lebih cepat karena dari awal tidak ada struktur feodal yang harus diruntuhkan. Di negara-negara seperti Jerman dan Jepang kaum borjuis, paling tidak pada tahap awalnya, bukan penggerak utama transformasi. Mereka tidak sekuat dan se-independen rekan-rekannya di Inggris atau Amerika Serikat. Di Jerman, justru kaum birokrat (yang terdiri dari para exaristokrat) yang menjadi kelompok pembaharu. Jerman pada abad 19 mempunyai sistem birokrasi paling modern di dunia dan, melalui reformasi birokrasi, mereka menciptakan rule of law yang mantap dan sistem jaminan sosial modern.


Di Jepang cikal-bakal dari kelompok pembaharu adalah kaum samurai yang mentransformasikan diri menjadi motor penggerak modernisasi. Di Jerman dan terutama di Jepang proses modernisasi tidak serta merta melahirkan demokrasi. Di kedua Negara ini, demokrasi baru berakar setelah Perang Dunia II. Dan prosesnya pun tidak sepenuhnya berasal dari dinamika intern, tetapi sebagian karena tekanan dari negara-negara penakluknya, khususnya Amerika Serikat, yang menginginkan demokrasi diterapkan di negara-negara tersebut.


Bagi negara berkembang barangkali akan terlalu lama untuk menunggu terbentuknya kelompok pembaharu secara alamiah seperti di negara-negara tersebut. Negara berkembang seyogyanya tidak mengandalkan satu atau dua kelompok sosial saja sebagai kelompok pembaharunya. Yang terbaik adalah mendorong terbentuknya koalisi luas, yang terdiri dari para demokrat dari semua segmen sosial.


Kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM dan lain-lain. Mereka diikat oleh kesamaan platform, yaitu memperjuangkan nilai-nilai demokrasi seperti hak asasi manusia, keterbukaan, kebebasan berusaha, good governance, rule of law dan sebagainya. Di sementara negara berkembang, termasuk Indonesia, kelompok semacam ini sudah mulai terbentuk dan berperan, meskipun masih terbatas. Mereka adalah elemen strategis dalam proses modernisasi dan demokratisasi.


Jalur Yang Penuh Risiko

Proses modernisasi dan demokratisasi adalah perjalanan yang panjang dan penuh risiko. Ada yang mengibaratkan alur tranformasi itu sebagai kurva-J yang menggambarkan risiko kegagalan yang besar pada awal proses itu tetapi kemudian berangsur menyurut pada tahap selanjutnya. Ada yang menggambarkannya sebagai proses meniti jalur yang penuh pusaranpusaran vicious circles dan, kalau beruntung, virtuous circles. Ada pula yang menggambarkannya sebagai perjalanan di jalan yang penuh persimpangan yang menuntut keputusan yang benar.

Proses sejarah tidak mengenal belas kasihan. Hanya bangsa yang mempunyai pandangan ke depan, keyakinan, keuletan dan kecerdasan yang dapat menyelesaikan perjalanannya. Yang lainnya tidak beranjak dari posisi awalnya, atau menjadi negara gagal (failed states) atau bahkan hilang dari peta sejarah. Hukum Darwin juga berlaku bagi seleksi antara bangsa.

Jumat, Januari 09, 2009

Demokrasi : The "Right" Track? (1)

Sejarah mencatat bahwa rute yang dilalui oleh berbagai bangsa sangatlah beragam. Ini juga tidak berarti bahwa kita tidak dapat mengidentifikasi pola-pola umum dalam sejarah kemajuan bangsa-bangsa. Identifikasi pola-pola umum dan penjelasannya merupakan bagian penting dari kegiatan para ahli sejarah dan ilmu sosial lainnya. Sekarang sudah banyak studi, baik teoritis maupun empiris, yang dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan: pola-pola umum mana yang terbuka bagi kita.


Bagi Indonesia pilihan itu sebenarnya lebih mudah, karena gerakan reformasi telah menjatuhkan pilihannya pada jalur demokrasi. Dalam literatur ekonomi-politik terdapat kristalisasi pandangan mengenai garis besar proses transformasi dari masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup dan tidak demokratis menuju masyarakat yang makmur, terbuka dan demokratis.


Fondasi Ekonomi

Salah satu kristalisasi pandangan itu adalah mengenai fondasi ekonomi dari demokrasi. Intinya adalah bahwa pada tahap awal perjalanannya masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup dan belum demokratis seyogyanya memusatkan upayanya pada pembangunan ekonomi lebih dahulu.


Secara intuitif dalil ini masuk akal karena pada tingkat penghasilan rendah, masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan yang paling mendasar, yaitu bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya dari hari ke hari. Kebutuhan atau (menggunakan jargon ekonomi) ”permintaan” akan demokrasi akan bersemi pada tingkat hidup yang lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.


Pengalaman berbagai negara juga menunjukkan bahwa begitu permintaan akan demokrasi ini merebak dan memperoleh momentumnya, biasanya tidak bisa dihentikan lagi.Kita bisa perdebatkan, tetapi menurut penilaian banyak ekonom, Indonesia saat ini sudah mencapai tahap ini.


Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu penting bagi keberlanjutan demokrasi. Suatu studi yang banyak diacu menyimpulkan bahwa, berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP)-dolar tahun 2001) mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Pada tingkat penghasilan perkapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup system demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500.


Posisi Indonesia di mana? Apabila kita hitung berdasarkan PPP-dolar 2008 penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar sedangkan batas kritis bagi demokrasi sekitar 6600 dolar. Kita belum 2/3 jalan menuju batas aman bagi demokrasi.


Sejumlah studi empiris lain, terutama oleh para ekonom, menyimpulkan bahwa demokrasi bukan penentu utama prestasi ekonomi. Menurut pandangan ahli-ahli ini, terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah, rule of law lebih menentukan kinerja ekonomi daripada demokrasi. Apabila kesimpulan ini benar maka negara-negara berpenghasilan rendah dapat memacu pertumbuhan ekonominya, meskipun mereka belum siap menerapkan demokrasi, asalkan mereka dapat memperbaiki rule of law.


Tetapi, dengan meningkatnya kemakmuran demokrasi akan makin ”diminta” oleh masyarakat. Sementara itu, pada tahap ini demokrasi juga makin penting bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi. Seorang ahli ekonomi pembangunan kenamaan melihat demokrasi sebagai suatu meta-institution atau institusi induk yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya institusi-institusi lain yang berkualitas, artinya efektif dan dengan tatakelola atau governance yang baik.


Hal ini penting mengingat konsensus yang sekarang berkembang di kalangan ahli dan praktisi adalah bahwa mutu institusi atau governance merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Apabila institusi yang baik menentukan keberhasilan pembangunan, dan demokrasi adalah sistem yang kondusif bagi perkembangan institusi semacam itu, maka demokrasi menjadi penentu bagi pembangunan ekonomi.


Pada tahap kemajuan ekonomi yang makin tinggi, pertumbuhan ekonomi akan makin mengandalkan pada fleksibilitas sistem ekonominya, kemajuan teknologi dan peningkatan mutu faktor produksi, yang kesemuanya bersumber dari inisiatif dan inovasi oleh para pelaku ekonomi. Dan kita tahu bahwa inisiatif dan inovasi tumbuh paling subur di alam demokrasi.


Jadi apa kesimpulan umum kita? Pada tahap awal, pembangunan ekonomi diprioritaskan karena hal itu akan sangat mengurangi risiko kegagalan demokrasi. Pada tahap selanjutnya interaksi antara ekonomi dan demokrasi makin erat dan keberadaan demokrasi makin menentukan kinerja ekonomi dan keberlanjutannya. Tetapi demokrasi adalah tanaman jangka panjang. Menabur benih lebih dini lebih baik. (bersambung)

Minggu, Januari 04, 2009

Hanura Ranking 2 Pemenang Pemilu 2009

Jakarta, Media Centre - Action Research mempublikasikan hasil riset terbarunya, yaitu Partai Pemenang Pemilu 2008 berdasarkan “Site Rank” di situs www.hdn.or.id, Kamis (4/12). Menurut Action Research, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) menempati ranking 2 Partai Pemenang Pemilu 2009 berdasarkan “Site Rank”, sedangkan ranking 1 ditempati Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan ranking 3 ditempati Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Berdasarkan “Site Rank” tersebut Partai Hanura merupakan partai baru yang menempati ranking terhormat sebagai Partai Pemenang Pemilu 2009.

Beberapa metode pe-rank-ingan situs telah dilakukan oleh berbagai pihak. Di antaranya adalah Google (PageRank), Alexa, dan TrustRank (Standford University dan Yahoo!). Metode lain juga ada, khususnya semenjak kemunculan blog, misalnya sistem pe-rank-ingan di Technorati. Pada umumnya per-rank-ingan mereka menerapkan algoritma yang berisi analisa terhadap link-link terkait dengan situs yang bersangkutan. Ranking sebuah situs menentukan popularitas situs tersebut, khususnya terkait dengan kemunculannya di search-engine atau di situs-situs sejenis.

Terkait dengan hal tersebut di atas, Action Research tertarik untuk melihat urutan "Partai Pemenang Pemilu Legislatif 2009 Republik Indonesia", berdasarkan ranking situs resmi mereka masing-masing. Situs resmi yang digunakan Action Research untuk tiap partai adalah situs yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) Situs resmi partai tingkat pusat/nasional, (2) Memiliki alamat/URL domain non-gratisan alias berbayar, (3) Alamat situsnya terdapat di postingan Action Research sebelum ini, click here, (4) Bukan situs partai lokal Aceh, hanya menganalisa situs partai tingkat nasional.

Sedangkan untuk tools yang digunakan Action Research untuk mengukur tingkat ranking situs adalah situs: site-rank.com. Alasannya, menurut subjektivitas Action Research, situs ini cukup independen dalam mengukur ranking situs, tidak memihak ke salah satu dari Google, Alexa, TrustRank, Technorati, dsb. Site-rank.com justru mencoba merangkum berbagai tools yang ada untuk menentukan ranking dari sebuah situs. Beberapa tools yang dilihat Action Research dirangkum oleh Site-rank.com antara lain: Google links, Google index, Google catalog, Yahoo links, Yahoo index, Yahoo catalog, Yandex links, Yandex index, Yandex catalog, Alexa rank, Alltheweb links, Altavista links, Technorati links, DMOZ catalog, dsb. Nilai rangking sebuah situs berdasarkan site-rank.com, memiliki range angka minimal 0 dan maksimal 10. Semakin besar angka ranking, semakin bagus situs yang bersangkutan.

Setelah dicoba diperiksa satu persatu ranking situs partai, ada beberapa partai yang tereliminasi. Mereka tereliminasi karena (1) Situsnya tidak dikenali oleh site-rank.com. Ketika disubmit alamat situs partai yang bersangkutan, site-rank.com mengeluarkan error message: "Don't correct URL", (2) Partai yang bersangkutan tidak/belum memiliki situs resmi. Partai-partai yang tereliminasi (sekaligus nomor urut mereka), adalah: Partai Amanat Nasional* (9), PNI Marhaenisme* (15), Partai Penegak Demokrasi Indonesia* (19), Partai Pelopor* (22), Partai Persatuan Pembangunan* (24), Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (26), Partai Bulan Bintang* (27), Partai Patriot (30), Partai Demokrat* (31), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (32), Partai Indonesia Sejahtera (33), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (34), Partai Merdeka (41), Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (42).

10 Besar Partai Pemenang Pemilu 2009 (beserta nomor urut mereka) berdasarkan “Site-Rank” adalah sebagai berikut:
(1) 8. Partai Keadilan Sejahtera* (PKS), 3,27250,
(2) 1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), 2,89860,
(3) 28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan* (PDIP), 1,87320,
(4) 23. Partai Golongan Karya* (Golkar), 1,87280,
(5) 13. Partai Kebangkitan Bangsa* (PKB), 1,76270,
(6) 5. Partai Gerakan Indonesia Raya Gerindra), 1,70810,
(7) 25. Partai Damai Sejahtera* (PDS), 1,40870,
(8) 44. Partai Buruh, 1,27710,
(9) 3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), 0,89170,
(10) 16. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), 0,88230,

Partai yang diberi tanda bintang (*) adalah partai yang telah mengikuti pemilu legislatif 2004. Selamat kepada Partai Hanura yang menempati urutan kedua sebagai Partai Pemenang Pemilu 2009 berdasarkan “Site-Rank”. Selamat berjuang menjalankan amanat sesuai dengan hati nurani rakyat.

Profil Singkat

Foto saya
Caleg No. 5 DPR RI, Dapil Lampung 2, Indonesia

Kategori